Minggu, 06 Februari 2011

ANALISIS DATA PENDIDIKAN SEBAGAI UPAYA PENYEDIAAN INFORMASI DAN BAHAN KEBIJAKAN

RINGKASAN LAPORAN KKN-PPL INDIVIDU 
PRODI ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN UNY
Oleh. Zaenal Irawan (NIM.07110241025)

Bentuk pengamalan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang dikemas dalam rangkaian kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan Program Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) bertujuan sebagai sarana pembelajaran bagi mahasiswa dalam mengaplikasikan pengetahuaannya dikehidupan bermasyarakat, upaya dalam mengembangkan kompetensi mahasiswa sesuai kompetensi program studinya. Bagi mahasiswa Kebijakan Pendidikan, kegiatan KKN-PPL difokuskan untuk pegembangan kompetensi mahasiswa sebagai peneliti, perancang, fasilitator dan networker kebijakan pendidikan.
Relevansi antara tugas dan fungsi Sub Bagian Administrasi Data dan Pelaporan (ADP) dengan kompetensi yang hendak dikembangkan menjadi pertimbangan utama dipilih Sub Bagian ADP sebagai tempat pelaksanaan program KKN-PPL 2010. Dengan dirumuskan program PPL individu berupa Analisis Data Pendidikan sebagai Upaya Penyediaan Informasi dan Bahan Kebijakan dengan didukung program KKN individu berupa Pengelolaan Data Pokok Pendidikan Nasional (Dapodik) menjadi langkah awal dalam pelaksanaan KKN-PPL di Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta.
          Dalam kurun waktu + 2,5 bulan (Juli hingga September), program-program yang telah dirumuskan tersebut berjalan lancar, terlaksana dengan baik dan tuntas sesuai rencana awal. Melalui beberapa penjabarannya kegiatan KKN seperti: kegiatan Pengelolaan Data Pokok Pendidikan Nasional,  Pelaksanaan PPDB dan Sosialisasi pengelolaan data pendidikan dan NISN, program Realisasi perpustakaan Disdik Kota Yogyakarta, AMT untuk meningkatkan budaya kerja, Pelatihan wawasan lingkungan, hingga pembuatan booklet Disdik Kota Yogyakarta. Proses pengembangan kompetensi melalui program PPL ditutunkan dalam beberapa kegiatan di antaranya; Analisis hasil Ujian Nasional 2010 yang bertujuan memberikan informasi tambahan bagi pihak-pihak yang membutuhkan, Analisis kuesioner evaluasi pelatihan BINTEK RAPBS 2010 yang diselenggarakan oleh Sub Bagian ADP dan melakukan Rekapitulasi usulan siswa sekolah swasta data penerima BOSDA 2010.
Pengembangan kompetensi sebagai peneliti terlihat pada pokok kegiatan berupa aktifitas analisis data dengan metode yang sistematis dan ilmiah. Pengembangan kompetensi sebagai perancang melalui tindaklanjut hasil evaluasi dalam bentuk rekomendasi atau saran dan berupa usulan desain kebijakan/kegiatan. Pengembangan kompetensi sebagai networker dilaksanakan mahasiswa melalui kerjasama penyelenggraan kegiatan ataupun komunikasi efektif baik dengan internal lembaga maupun eksternal lembaga. Pengembangan kompetensi mahasiswa sebagai fasilitator kebijakan dilakukan melalui pemenuhan kebutuhan Sub Bagian ADP tehadap informasi dan data akurat guna perumusan program atau kebijakan oleh Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta.


DOWNLOAD FILE 

Sabtu, 05 Februari 2011

THE WILL TO POWER


Komaruddin Hidayat
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Kamis, 3 Februari 2011 10:44 WIB

Setiap diri manusia terlahir dengan membawa naluri untuk berkuasa atau menguasai lingkungannya. Kehendak untuk berkuasa (the will to power) ini mudah diamati sejak masa kanak-kanak. Coba saja amati ketika anak-anak mulai berinteraksi dengan sesama anak, biasanya mereka akan berebut mainan atau makanan. Lalu anak juga ingin selalu bertanya apa saja yang dia jumpai di sekitarnya karena dengan mengetahui juga tersimpan kehendak untuk memiliki, yaitu pengetahuan. Dari pengetahuan inilah nantinya berkembang kehendak untuk menguasai benda-benda. Bukankah kita tertarik memiliki barang-barang yang diiklankan melalui media massa? Bukankah para penjajah muncul kehendak untuk menguasai wilayah lain bermula dari pengetahuan tentang peta bumi dan kekayaan alamnya?

Ketika seseorang semakin dewasa maka semakin berkembang obyek-obyek yang hendak dikuasai dengan berbagai langkah dan cara. Sejak bagaimana memenangkan kejuaraan dalam ujian, olah raga, sampai berebut pekerjaan dan selanjutnta lagi berebut berbagai jabatan. Semua ini didorong oleh naluri untuk berkuasa, mendapatkan posisi lebih tinggi dari yang lain. Dalam pergaulan sehari-hari pun bisa kita amati kecenderungan seseorang untuk menguasai pembicaraan atau menarik perhatian. Secara ekstrim, setiap orang menginginkan apa yang disebut “self-glory” dengan cara dan tingkatan yang berbeda-beda.

Dengan adanya naluri untuk berkuasa ini kehidupan lalu menjadi dinamis. Orang berlomba untuk menjadi juara dan ingin lebih dari yang lain entah dalam bidang keilmuan, kekayaan, jabatan dan ketampanan serta aspek lain. Yang paling menonjol tentu saja dalam bidang olah raga, terlebih lagi jika yang bertanding mewakili harga diri bangsa dan negara sebagai taruhannya. Orang merasa senang kalau dapat melebihi dan kemudian menguasai yang lain. Bagi seorang pejabat, ada yang merasa puas kalau anak buahnya merasa takut dan mencium tangannya sebagai pengakuan kekalahan dalam hal kepangkatan yang kemudian diwujudkan dalam bentuk pengabdian atau penghambaan (servitude).

Dalam dunia bisnis dan politik the will to power berlangsung semakin telanjang dengan volume dan intensitas yang tak terkontrol lagi. Misalnya saja, karena di bawah bumi Irak terdapat kandungan minyak melimpah, maka wilayah itu menjadi obyek perebutan untuk dikuasai dengan berbagai cara yang sadis dan telanjang. Tidak hanya bumi Timur Tengah, tanah Papua yang berada jauh dan tertutup hutan pun kekayaan alamnya diincar dan digali lalu diangkut keluar meski warga setempat hidupnya tetap sengsara. Secara psikologis, menguasai itu mendatangkan sensasi kenikmatan tersendiri.

Akhir-akhir ini dalam panggung politik nasional maupun lokal pertarungan untuk berkuasa berlangsung kasat mata. Untuk memperebutkan sebuah jabatan birokrasi atau politik seseorang rela mengeluarkan beaya yang jumlahnya jauh melebihi gaji resmi yang dijanjikan kalau saja memenangkan kompetisi. Nalar sehat dan rumus matematika sulit menjelaskan ini kecuali dengan sudut pandang lain, salah satunya adalah naluri the will to power dan obsesi untuk memperoleh self-glory.

Ketika seseorang telah merasa kaya dan bergelimang harta, itu semua dirasa belum cukup kalau tidak memiliki jabatan dan kekuasaan yang memungkinkan dirinya bisa memerintah dan menundukkan orang lain. Dia akan merasa puas ketika memasuki suatu forum lalu disanjung-sanjung, orang berdiri, berebut menjabat tangannya dan bahkan menciumnya. Ketika berpidato merasa puas disambut tepuk tangan. Ketika mencoba melucu hadirin lalu tertawa meski tidak spontan dan tidak tulus ketawanya.

Sedemikian jelekkah kekuasaan itu? Tentu saja tidak. Tanpa adanya legalitas dan otoritas, sebuah pemerintahan tidak akan berjalan. Kehidupan sosial akan kacau. Dalam perusahaan pun diperlukan figur yang memiliki power yang legal dan efektif untuk menjalankan roda perusahaan. Hanya saja ketika kekuasaan dan jabatan semata hanya untuk memenuhi ego dan ambisi pribadi guna mendapatkan self-glory, maka kekuasaan yang demikian akan merusak tatanan bernegara, tatan perusahaan dan tatanan masyarakat. Bahkan akan merusak dirinya sendiri.

Hari-hari ini saya sering bertanya, dan sekedar bertanya karena jawabnya juga tak akan muncul. Mengapa banyak orang begitu berambisi untuk berkuasa? Dan untuk meraihnya pun tidak jarang mesti dengan cara menjelekkan dan menjatuhkan pesaingnya secara tidak fair. Di pihak lain, mereka yang sudah berkuasa sering sangat sensitif terhadap kritik dan enggan untuk melepas kekuasaannya. Padahal berbagai struktur dan jabatan itu pada mulanya didisain sebagai wahana pengabdian untuk melayani masyarakat dan secara reguler mesti bergantian. Jangan memonopoli “pahala” dalam berbakti melayani masyarakat, memajukan bangsa.

Yang ironis tentu saja jika jabatan itu dipandang sebagai “ghanimah” atau harta hasil rampasan perang yang kemudian diperebutkan ramai-ramai. Naluri rendahan inilah yang mesti dikikis karena menjadi virus ganas yang menghancurkan kehidupan bernegara, mengkhianati perjuangan dan cita-cita para pendiri bangsa. Kekuasaan itu baik dan sangat diperlukan selama dikawal dan disemangati etika dan komitmen untuk mensejahterakan rakyat.

SEKOLAH WAJIB BUAT RAPBS SEBELUM DAPAT BOS


BANDAR LAMPUNG, TRIBUN - SD dan SMP negeri wajib membuat rancangan anggaran pendapatan belanja sekolah (RAPBS) sebelum mendapatkan dana BOS (bantuan operasional sekolah).

Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kota Bandar Lampung Bustami menjelaskan, dalam pembuatan RAPBS, pihak sekolah harus mengelompokkan antara belanja pegawai, belanja barang jasa, dan belanja barang modal. 

"Ketiga kelompok belanja tersebut masuk dalam jenis belanja langsung. Dan ini sesuai dengan aturan pencairan dana BOS yang telah ditransfer dari APBN ke APBD Kota Bandar Lampung," terang Bustami kepada Tribun Lampung, Jumat (4/2). 

Dia menambahkan, sekolah yang telah membuat RAPBS kemudian diajukan ke dinas pendidikan setempat melalui manajer BOS.

"Masing-masing sekolah yang mendapat dana BOS harus membuat RAPBS dalam kurun waktu tiga bulan, dan diserahkan ke saya selaku manajernya. Sehingga waktu pencairannya tergantung dari pembuatan dan pengajuan RKA tersebut," katanya. 

Dia menuturkan, RAPBS yang telah masuk ke dinas akan direkapitulasi dan dikelompokkan sesuai ketiga jenis belanja tersebut. Rekapitulasi akan diserahkan ke bendahara umum daerah (BUD) atau pejabat pengelola keuangan daerah (PPKD).

Kemudian BUD mentransfer dana BOS ke bendahara pengeluaran pembantu (BPP) dinas pendidikan setempat, dan dan diteruskan ke rekening sekolah negeri sesuai dengan RAPBS yang diajukan.

Bustami memaparkan, jumlah sekolah di Bandar Lampung yang mendapatkan dana BOS yakni, 201 SD negeri, 35 SD swasta, 34 SMP negeri, dan 74 SMP swasta.

Sementara, total dana BOS selama setahun sebesar Rp 62.217.350.000, dengan rincian Rp 33.915.600.000 untuk SD negeri, Rp 4.992.400.000 untuk SD swasta, Rp 12.587.325.000 untuk SMP negeri, dan Rp 10.722.025.000 untuk SMP swasta.

Setiap siswa SD dialokasikan Rp 400 ribu per tahun, sedangkan setiap siswa SMP dialokasikan Rp 575 per tahun. Namun, tidak semua dana tersebut akan dicairkan ke sekolah. Pencairan dibagi menjadi empat periode selama satu tahun, dan sesuai dengan RAPBS masing-masing.(*)


penulis: tika rochmawatie | editor: taryono 

Jumat, 28 Januari 2011

ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN BUKU SEKOLAH ELEKTRONIK (BSE) KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA) KOTA YOGYAKARTA

Studi kasus di SMA Negeri 8 Yogyakarta dan SMA Negeri 9 Yogyakarta

ABSTRAK
Program Student Uniont Grant UNY 2010


Disusun Oleh:
Zaenal Irawan, Maya Eka Sari dan Muthia Umi  Setyoningrum
dengan Dosen Pembimbing Dr. Siti Irine Astuti D.

     Buku teks pelajaran menjadi salah satu sumber ilmu pengetahuan dan merupakan komponen yang wajib dipenuhi pada setiap pelaksanaan proses pembelajaran di sekolah. Kompleksnya permasalahan perbukuan menjadi penghambat bagi peningkatan mutu pendidikan. Dengan semakin pesatnya perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi, menuntun Kemendiknas melakukan reformasi mendasar bagi perbukuan pendidikan dengan mencentuskan trobosan dan inovasi kebijakan berupa Buku Sekolah Elektronik (BSE) guna menyediakan buku teks pelajaran masal, murah, berkualitas dan berteknologi.
      Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana implementasi kebijakan BSE dan hambatan-hambatan yang muncul di lapangan. Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan kualitatif deskriptif, yang dalam pengumpulan datanya mengunakan teknik wawancara mendalam, observasi, dokumetasi dan triangulasi. Sumber data dalam penelitian ini adalah Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Sekolah, Guru, karyawan sekolah, siswa dan orangtua siswa yang dipilih menggunakan teknik purposive sampling dan snwball sampling serta hasil dari observasi.
        Hasil penelitian menunjukan SMA Negeri 8 Yogyakarta dan SMA Negeri 9 Yogyakarta telah memiliki kesiapan sarana-prasarana yang diperlukan dalam mengimplementasi kebijakan BSE. Namun, implementasi kebijakan BSE di kedua sekolah tersebut tidak berjalan efektif sebagaimana yang menjadi tujuan BSE. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa hambatan seperti; (1) Kurangnya sosialisasi oleh pemerintah; (2) Sumberdaya Manusia (SDM) yang belum mampu menggunakan teknologi khususnya terkait dengan internet (gaptek); (3) Belum adanya sistem pengelolaan/menejerial dalam memanfaatkan BSE; (4) Terbatasnya koleksi buku mata pelajaran yang tersedia dalam BSE dan akses BSE yang dipandang masih sulit; (5) Status/Kualitas Sekolah. SMA Negeri 8 Yogyakarta  sebagai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional dan SMA Negeri 9 Yogyakarta sebagai Sekolah Standar Nasional, memandang muatan materi dalam BSE hanya memuat kompetensi dasar (standar). Sehingga BSE kurang sesuai untuk mendukung pencapaian target sekolah; dan (6) Kurang kuatnya landasan hukum BSE, diikarenakan tidak adanya kejelasan pembagian kewenangan, tugas, dan peran yang harus dijalankan oleh masing-masing lembaga yang masuk dalam hierarki Kementrian Pendidikan Nasional.

            
Kata Kunci: Implementasi Kebijakan, Buku Sekolah Elektronik


NILAI-NILAI FILOSOFIS JAWA PADA PERMAINAN TRADISIONAL DI WILAYAH YOGYAKARTA

ABSTRAK PENELITIAN
Program Kreatifitas Mahasiswa Penelitian (PKM-P) DP2M DIKTI 2010

Disusun Oleh:
Saeful Amri, Arfian Suprayitno, Donny Widarto, 
Zaenal Irawan, dan Retno Setya Putri
dengan Dosen Pembimbing: Agus Sumhendartin Suryobroto, M.Pd.

Bermain merupakan aktivitas yang dilakukan untuk merasa senang dan digunakna untuk melepas penat dan lelah. Kegemaran orang dalam bermain ini yang kemudian menyebabkan munculnya beragam jenis permainan mulai dari yang sederhana, menengah, hingga kompleks, salah satunya permainan tradisional. Belakang ini permainan tradisional hanya eksis ketika ada lomba perayaan hari kemerdekaan saja. Permasalahan inilah yang mendorong dilakukan peneliti untuk menggali nilai-nilai filosofis Jawa yang terdapat dalam permainan-permainan tradisional.

Dari hasil penelitian diketahui permainan tradisional mengandung banyak nilai-nilai yang dapat membentuk karakter anak. Unsur penting dalam berbagai permainan diantaranya melatih dan menumbuhkan rasa kepedulian terhadap sesama, solidaritas dan sportivitas, melatih semangat kejujuran, daya saing, kegigihan, dan kerjasama. Permainan tradisional juga berfungsi sebagai
perumpamaan nilai hidup orang Jawa berisikan tuntunan hubungan antara manusia dan sang pencipta, hubungan antar sesama manusia. Disamping itu permainanan tradisional juga sebagai saran persiapan untuk hidup bernegara melalui aturan, alat-alat kelengkapan (umpanya aturan dan alat-alat bernegara).

Kata Kunci: Nilai-Nilai Filosofis Jawa, Permainan Tradisional



PENDIDIKAN GENDER INKLUSIF UNTUK PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (EDUCATION FOR SUSTAINABLE DEVELOPMENT)


Ringkasan Program Kretifitas Mahasiswa Gagasan Tertulis (PKM-GT)
mendapat Penghargaan DP2M DIKTI 2011


Diususlkan Oleh:
Zaenal Irawan, dkk.
dengan Dosen Pembimbing Ariefa Efianingrum, M.Si. 

Dalam menyukseskan pembangunan nasional dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk menjadi penggerak utama bagi seluruh sektor pembangunan nasional, yang diproses melalui pendidikan. Akan tetapi pendidikan sebagai proses pembudayaan banyak memunculkan problematikan berupa ketimpangan gender sebagai konsekuensi logis dari implementasi nilai gender tradisional hasil konstrak sosial budaya masyarakat. Dengan melahirkan diskriminasi, pelabelan negatif, tindakan kekerasan dan marginalisasi, yang dalam kehidupan riil dimasyarakat banyak menimpa perempuan. Sangat disayangkan, kondisi inipun terus dikukuhkan dalam proses pembelajaran melalui perangkat pendidikan dan pemeran utama pendidikan (guru) yang buta gender. Maka sewajarnya jika kualitas perempuan berada dibawah laki-laki dan tujuan  pembangun menjadi terhambat karenanya.

Melalui pendidikan gender inklusif ditawarkan sebuah solusi alternatif dalam mengurai permasalahan sosial yang berakar pada sistem gender tradisional  masyarakat untuk mewujudkan tujuan pembangunan sekaligus mendukung terpenuhinya komitmen pemeritah pada konvensi internasional seperti; EFA, Convention on the Right of Child, MDGs dan paradigma baru Education for Sustainable Development. Pendidikan gender inklusif merupakan model pendidikan tentang gender bagi semua orang (khusunya anak-anak) yang bersifat, dinamis, fleksibel, kompeherensif dan terintegral (hidden curriculum) untuk mempengaruhi, merekonstruksi dan membentuk pemahaman anak tentang nilai gender baru . Serta menjadi suplemen bagi program pegarustamaan gender dalam pendidikan. Guna memasyarakatkan konsep ini, dibentuklah Satuan Tugas (satgas) pendidikan gender inklusif yang terdiri dari; peneliti, para aktifis gender, LSM, pakar pendidikan, tokoh masyarakat, pemerintah hingga mahasiswa.

Satgas pendidikan gender inklusif memiliki fungsi utamanya berupa penelitian, pengembangan, dan pengkajian tentang model pendidikan gender yang relevan dengan kondisi lingkungan serta mensosialisasikan pada semua elemen pendidikan. Untuk lebih memfokuskan dalam pencapaian tujuan direkrutlah agen (duta) sosialisasi gender inklusif yang berasal dari pendidik/guru, kepala sekolah, maupun tokoh masyarakat yang telah teruji dan memiliki kompetensi. Satgas pendidikan gender inklusif juga melakukan pembinaan, penilaian, melakukan pelabelan atau sertifikasi berupa pengkategorian lembaga pendidikan misal; kategori “Sekolah Berkeadilan Gender”. Hal ini bertujuan memberikan jaminan kepada masyarakat terhadap nilai tambah dalam pendidikan, sekaligus menjadi sarana sosialisasi kepada masyarakan luas tentang isu gender untuk diperoleh kesadaran dan pemahaman masyarakat. Harapan lebih luas lagi jika bisa terbentuk daerah/kota yang masyarakatnya berkesetaraan gender/kota ramah gender.

Dengan adanya pendidikan gender inklusif diharapkan terbentuk sistem keyakinan baru dimasyarakat khususnya para generasi bangsa (anak-anak) dengan penuh kesadaran tanpa diskriminasi, subordinasi, stereotype marginalisasi, violence untuk bersama-sama berperan aktif dan berkontribusi bagi pembangunan  yang berkelanjutan untuk masa depan dari generasi ke genarasi. Inilah paradigma baru Education for Sustainable Development (EfSD).



 Semoga dapat bermanfaat #
dan menjadi refrensi pemikiran dalam  berkarya #
Download File

TERMINAL PELAJAR SOLUSI CERDAS PEMERATAAN SARANA DAN PRASARANA PENDIDIKAN

Ringkasan Program Kretifitas Mahasiswa Gagasan Tertulis (PKM-GT)
mendapat Penghargaan DP2M DIKTI 2010

Disusun Oleh: 
Zaenal Irawan, Fajar Sidik dan Irmayani H.A.R Tokan
dengan Dosen Pembimbing: Ariefa Efianingrum, M.Si. 


Pendidikan sebagai investasi peradaban yang memiliki arti penting dalam meningkatkan martabat dan kualitas bangsa. Melalui pendidikanlah, diharapkan kehidupan masyarakat Indonesia berubah menjadi lebih baik. Maka dari itu, pendidikan nasional sebagai usaha sadar dan terencana bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, berilmu, kreatif, cerdas, produktif, dan berdaya saing tinggi dalam pergaulan nasional maupun internasional.
        
Untuk lebih memfokuskan tercapainya tujuan pendidikan, pemerintah merumuskanya tujuan pendidikan nasional kedalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan selanjutnya dipertergas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
   
Melalui kebijakan standarisasi pendidikan, pemerintah menentukan standar minimal pendidikan di seluruh Indonesia yang berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Standar nasional pendidikan meliputi delapan aspek, diantaranya; standar isi, standar saran prasarana, standar kompetensi kelulusan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
      
Disamping itu, pemerintah dengan kebijakan pembangunan nasionalnya, menyusun program perluasan dan pemerataan pendidikan melalui; peningkatan pengadaan sarana dan prasarana sekolah, peningkatan pengelolaan dan pendayagunaan sarana dan prasarana baik yang sudah ada di sekolah maupun di luar sekolah. Namun pada kenyataannya, disekeliling kita masih banyak terdapat ketimpangan antara sekolah-sekolah dalam satu wilaya/kota. Dimana sekolah-sekolah menengah yang saling berdekatan, dengan status sama, tetapi sarana dan prasarana pendidikan yang dimiliki berbeda. Terlebih lagi, jika dilihat sarana prasaran antara sekolah di kota dan sekolah di desa yang sangat jauh berbeda.
            
Upaya pemerintah untuk mengetahui ketercapaian tujuan pendidikan yang digambarkan dalam proses pembelajaran, pemerintah mengunakan ujian nasional (UN) sebagai instrumen evaluasi hasil pembelajaran. Akan tetapi, kebijakan UN membawa kekhawatiran bagi pelajar, sekolah dan orangtua. Hal ini dikarenakan, adanya penambahan 6 (enam) mata pelajaran yang diujikan bagi siswa kelas XII (SMA) yaitu; mata pelajaran Sosiologi, Geografi, dan Matematika untuk jurusan IPS. Mata pelajaran Fisika, Biologi, dan Kimia untuk jurusan IPA, dengan standar minimal nilai rata-rata kelulusan meningkat 0,25 dari tahun sebelumnya 5,25 menjadi 5,50 pada 2009 dengan dua nilai “mati” dari enam mata pelajaran dibawah 4,00 tidak lulus dan  diatas 4,25 masih dinyatakan lulus. Kebijakan ujian nasional ini, perlu diimbangi dengan peningkatan saran dan prasaran yang menunjang setiap mata pelajaran yang diujikan (Candrapetra, 2009).
            
Disisi lain, kendala teknis masih menjadi penghambat dalam proses belaja-mengajar di sekolah formal. Sebagai contoh; pertama, pada sekolah menengah yang memiliki sarana dan prasara pembelajaran lengkap, namun prasarana (alat-alat) pembelajaran yang ada kurang perawatan. Sehingga ketika dibutuhkan alat tersebut rusak dimakan usia dan dikarenakan kurang perawatan. Kedua, masih minimnya pengetahuaan pendidik (guru) dalam mengoperasionalkan alat-alat pembelajaran yang sudah ada. Seperti; alat-alat praktik pada laboratorium IPA, laboratorium Bahasa dan laboratorium komputer.
            
Dalam perkembangananya dewasa ini, kebijakan-kebijakan pemerintah untuk mewujudkan pemerataan pendidikan dan meningkatkan mutu pendidikan mengalami banyak hambatan. Terutama yang berkaitan dengan pendanaan. Olehkarena itu, penulis menawarkan Terminal Pelajar sebagai solusi dalam mengatasi permasalahan-permasalahan diatas, agar tujuan pendidikan nasional yang bermutu bisa terwujud.
            
Terkait hal tersebut, penulis mengunakan metode deskriptif kualitatif berdasarkan analisis data/informasi dan gagasan penulis dalam penyusunan/ penulisan Terminal Pelajar ini. Melalui tahapan; (1) pengumpulan data (melalui studi kepustakaan, buku-buku, jurnal, majalah ilmiah ataupun internet), (2) reduksi data, (3) penyajian data dan (4) penarikan kesimpulan berupa hasil akhir Terminal Pelajar Solusi Cerdas Pemerataan Sarana dan Prasarana Pendidikan.
            
Terminal pelajar sebagai alternatif solusi dalam mengatasi keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan terutama yang berkaitan dengan prasarana pembelajaran di sekolah menengah. Dengan kata lain, sekolah-sekolah menengah di suatu daerah/kota yang memiliki keterbatasan sarana dan prasarana penunjang pemebelajaran bisa mempergunakan dan memanfaatkan terminal pelajar untuk keperluan proses belajar-mengajar. Terminal pelajar ini didirikan oleh pemerintah daerah sebagai pusat pembelajaran yang memiliki fasilitas lengkap. Adapun fasilitas pembelajaran yang terdapat pada terminal pelajar meliputi; laboratorium IPA, laboratorium bahasa, laboratorium komputer dilengkapi jaringan internet, perpustakaan, ruang diskusi, ruang keseniaan (galeri) dan sarana olahraga.
            
Untuk pelayanan yang lebih optimal, terminal pelajar memiliki tenaga ahli yang profesioanl untuk mengoperasionalkan semua fasilitas yang ada. Selain itu, mahasiswa dilibatkan pada kegiatan proses pembelajaran di terminal pelajar untuk dapat mengimplementasikan pengetahuan empiris yang diperoleh melalui bangku kuliah sesuai dengan keilmuan dan bidang masing-masing.
            
Terminal pelajar juga dijadikan sebagai pusat berkumpulnya para pelajar sekolah menengah setelah pulang sekolah (after school activity) untuk mengisi waktu luang dengan belajar bersama. Proses belajar di terminal pelajar menitik beratkan pada program pembelajaran melelui kegiatan belajar bersama (Cooperation learning) mengunakan metode diskusi kelompok. Sebagaimana dikatakan Suherman (2001), metode belajar kelompok melalui diskusi, memberi dampak positif dalam pembelajaran karena dengan belajar kelompok para pelajar dapat memberi motivasi anggota yang lain untuk aktif dalam belajar. Ide utama belajar kelompok melalaui teman sebaya (peer group) adalah memotivasi siswa untuk ikut serta dan membantu satu sama lain dalam menyelesaikan masalah (Hudojo, 1988). Keunggulan lainnya adalah belajar bersama di terminal pelajar lebih bergengsi (prestige) karena diikuti oleh pelajar lintas sekolah sehingga semangat dalam belajar lebih tinggi.


Agar kegiatan belajar bersama di terminal pelajar memperoleh  hasil belajar yang maksimal, kelompok-kelompok belajar teroganisir tersebut, membuat agenda belajar yang terjadwal dengan pendampingan dari tenaga ahli dan para mahasiswa. Hal ini dimaksudkan agar diperoleh hasil belajar (out-put) dari proses belajar bersama berupa pemahaman terhadap materi pembahasan. Serta terciptnya kesiapan bagi para pelajar kelas XII untuk menghadapi ujian nasional (UN).


Pada lain hal, terminal pelajar menjadi wahana membangun komunikasi agar terwujudnya keharmonisan antar pelajar sekolah-sekolah menengah. Sekaligus sebagai saran penyalur dan pengembangan potensi para pelajar, melalui program pengembangan terminal pelajar yang disesuaikan dengan minat dan bakatnya. Program pengembangan meliputi; bidang kesenian, olahraga, jurnalistik, dan akademik (kelompok sains). Dari program ini, para pelajar bisa mengasah potensi yang dimiliki ataupun melakukan kerjasama untuk membuat kegiatan bersama sesuai bidang pengembangan yang ada.
       
Tenaga ahli dan fasilitas pembelajaran yang ada di terminal pelajar, dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kompetensi para pendidik (guru) melalui pelatihan terkait mengoperasionalkan alat-alat pembelajaran hingga pelatihan Teknologi dan Informasi Komunikasi (internet) untuk seluruh warga terminal pelajar (guru dan pelajar). Selain itu, masyarakat umum yang terlibat pada pendidikan nonformal (kejar paket C), dapat menggunakan fasilitas terminal pelajar untuk mendukung proses belajar mengajar dan pembelajarannya.
       
Dalam penempatanya, terminal pelajar berada pada daerah stategis, dan mudah dijangkau oleh para pelajar. Pengelolaan utama terminal pelajar adalah pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan Menengah dengan status tenaga ahli sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang digaji pemerintah daerah. Disamping itu, diadakannya kerjasamaan antar sekolah-sekolah menengah, para stakeholder dan universitas-universitas untuk mendukung berjalannya terminal pelajar.
       
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan keberadaan terminal pelajar sangatlah dibutuhkan (urgent) untuk pendidikan Indonesia seperti saat ini. Hal ini dianggap perlu karena Terminal pelajar dapat menjadi solusi pemerataan pendidikan dan akan memberi banyak manfaat bagi para pelajar, mahasiswa, guru (sekolah), masyarakat dan pemerintah.
       
Dengan demikian, penulis berharap agar setiap pemerintah daerah/kota dapat mendirikan Terminal pelajar sebagai pusat pembelajar dan berkumpulnya para pelajar untuk belajar bersama. Selain itu, keberadaan terminal pelajar untuk mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah dalam upaya pemerataan saran dan prasarana pendidikan dan peningkatan mutu pendidikan Indonesia. 




Semoga dapat bermanfaat dan #
menjadi sumber inspirasi baru #
Download File


Selasa, 25 Januari 2011

SEBUAH KESALAHAN UNTUK TIDAK DILAKUKAN



Yang terhormat,
       Dekan FIP (Bapak Prof. Dr. Achmad Dardiri, M. Hum.);
Pembantu Dekan III (Bapak Bamabang Saptono, M. Si.);
Yang saya hormati:
Teman-teman mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan, dan;
Seluruh peserta sidang Mubesma,

Assalammualiakum Wr. Wb.
Selamat pagi dan Salam sejahtera bagi kita semua.

Dengan kesadaran penuh dan rasa penyesalan mendalam, saya tuliskan pertanggungjawaban sebagai seorang yang pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan (DPM FIP) masa bakti tahun 2010/2011. Rasa penyesalan ini semakin diperparah dengan kekecewaan mendalam terhadap diri sendiri karena belum mampu memberi yang terbaik bagi fakultas tercinta melalui DPM FIP.
Untuk mengawali bentuk pertanggujawaban moral ini, Saya ingin mengucapkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada seluruh civitas akademika FIP. Terkhusus – permohonan maaf ini Saya tujukan kepada Dosen yang tak pernah lelah mengurusi mahasiswa, Bapak Bambang Saptono, M.Si., serta teman-teman mahasiswa yang dulu pernah memberi kepercayaan besar dengan penuh pengharapan kepada Saya untuk dapat membawa kemajuan bagi DPM FIP maupun ORMAWA.
Satu tahun kepengurusan DPM FIP telah berlalu. Bagi Saya, optimisme besar diawal kepengurusan, manakal DPM FIP memiliki 14 anggota. Seinggat Saya, terdapat 3 mahasiswa pernah menjabat sebagai ketua HIMA yang kaya akan pengalaman organisasi dan insaAllah telah sukses membawa kemajuan bagi HIMAnya; 5 mahasiswa angkatan 2008 cukup memiliki pengalaman organisasi; dan 6 mahasiswa angkatan 2009 yang memiliki kemauan keras untuk belajar dan termasuk sumberdaya potensial untuk regenerasi DPM ke depan. Akan tetapi, pada bulan ketiga kepengurusan berubah menjadi pesimisme.
Berdasar pada keyakinan diri, bahwa tiga bulan pertama adalah waktu yang paling menentukan bagi kemajuan suatu organisasi (Bila dalam tiga bulan pertama suatu organisasi telah membangun pondasi yang kuat dan sistematis, maka dapat dipastikan tiga bulan berikutnya kemajuan mudah untuk diwujudkan. Begitu juga sebaliknya). Hal ini berdasarkan kenyataan, hingga kini DPM tidak memiliki visi-misi ataupun tujuan yang akan dicapai dalam satu tahun kepengurusan; rencana kerja (proker) dan kejelasan sistem manajeman kepengurusan.
Sebagai seorang yang memiliki visi, pengalaman, kesempatan dan harapan. Bersama beberapa anggota DPM telah diusulkan dan diupayakan hal-hal yang harus dilakukan pada awal kepengurusan, seperi: restrukturalisasi, pembagian ranah kerja dan penyususnan rencana kerja. Tidak lupa, semua hal tersebut berusaha dilakukan. Akan tetapi lisan tak sejalan dengan gerak tubuh; kesepakatan di dalam ruang tak lagi berarti di luar ruangan dan ternyata sebagian eliti legislatif-eksekutif FIP tak begitu paham dengan sistem yang mereka bangun, banggakan dan jalankan. Republik Mahasiswa (DPM FIP ReMa dan BEM FIP ReMa). Sehingga pesimisme tersebut berakhir dengan kekecewaan mendalam.
Kekecewaan tersebut terjadi manakala, konsep legislatif tidak dijalankan dengan baik. Fungsi legislasi, advokasi, controlling dan budgeting. Salah satunya, seharusnya sistem pengambilan keputusan berada ditanggan seluruh anggota DPM, akan tetapi sering terjadi keputusan sepihak; DPM tak kunjung memiliki dasar gerak yang terperinci dan jelas, meskipun telah diususlkan; DPM lebih fokus pada urusan eksternal FIP, ketimbang advokasi kepentingan mahasiswa dan HIMA; Elit BEM risih dengan transparansi dan akuntabilitas publik. Dari kondisi demikianlah, Saya dan beberapa anggota DPM, merasa dihianati oleh sistem yang dibangga-banggakan sebagian elit mahasiswa yang ternyata tak mampu mereka jalan.
Pada tanggal 24 Mei 2010, secara tertulis saya menyatakan mengundurkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Fakultas (DPF) sekaligus anggota Majelis Permusyawaratan Mahasisw (MPM) yang terpilih melalui sidang Musyawarah Besar Mahasiswa (MUBESMA FIP 2010). Dilanjutkan pada tanggal 10 Juni 2010, secara tertulis saya mengundurkan diri jabatan sebagai Wakil Ketua DPM 2010. Hal tersebut, saya putuskan dengan kesadaran penuh dan pertimbangan matang berdasarkan kenyataan dilapangan dan hasil evaluasi diri.
Untuk mengingatkan, visi saya untuk DPM kala itu meliputi: (1) Melakukan reformasi legislatif mahasiswa; (2) Melakukan restrukturalisasi DPM FIP; (3) Memlakukan formulasi sistem penerimaan beasiswa; (4) Rekonsiliasi jam buka PKM FIP (21.00 WIB); (5) Melakukan tinjauan terhadap anggaran ORMAWA FIP; (5) Mempertajam fungsi Check and Balances terhadap BEM FIP; (6) Memperkuat jaringan dan komunikasi dengan instansi terkait; (7) Restrukralisasi hubungan dan tata kelola ORMAWA FIP; dan (9) Membangun media komunikasi dan jaring aspirasi mahasiswa. Kesadaran akan ketidakmampuan diri dalam mewujudkan visi inilah salah satu yang menjadi petimbang untuk mengakhiri perjuangan di DPM, khususnya sebagai wakil ketua DPM.
Banyak persepsi bagi pengunduran diri saya, salah satu yang berkembang adalah saya tidak berada pada “jabatan strategis” (Ketua DPM). Hal ini mungkin saja benar dan mungkin saja salah. Bila hanya dengan menjadi ketua DPM adalah jalan satu-satunya membawa kemajuan dan perubahan bagi DPM dan ORMAWA FIP, maka itu Benar. Dan pasti tidak akan pernah saya usahakan sesuatu, bila saya tidak berada pada posisi tersebut. Namun, bila dimanapun tempatnya saya bisa berbuat yang terbaik, untuk menyalurkan aspirasi dan gagasan yang mampu membawa kemajuan bagi DPM FIP dan ORMAWA, maka itu Salah. Dan saya akan mengusahakan apa yang bisa saya usulkan, berikan dan lakukan hingga semangat itu luntur.  
Terimakasih, untuk teman-teman DPM yang telah berupaya mengusahakan yang terbaik, tetapa semangat dan teruslah berjuang untuk mahasiswa.
Terimakasih untuk semua, hanya inilah yang dapat saya sampaikan pada kesempatan yang mulia ini. Semoga ini menjadi bagian yang tersisa dari sebuah idealisme dan keinginan memajukan ORMAWA FIP melalui DPM FIP. Dan semoga di kepengurusan DPM tahun ini, dapat melakukan hal yang terbaik bagi kemajuan DPM dan ORMAWA FIP serta membangun pondasi yang kokoh untuk generasi mahasiswa selanjutnya. Sekali lagi, saya mohon maaf yang sedalam-dalamnya kepada seluruh mahasiswa FIP.


“Ingatlah Aku sebagai seorang yang berbuat kesalahan, lalai dalam menjalankan tanggungjawab dan amah yang diberikan, untuk tidak diulangi semua yang telah ku lakukan ini”

“Aku adalah proses, dan tak ada hasil yang akhir dari proses”

“Berbahagialah”




Yogyakarta, 23 Januari 2011


Zaenal Irawan 
NIM.07110241024