Sabtu, 05 Februari 2011

THE WILL TO POWER


Komaruddin Hidayat
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Kamis, 3 Februari 2011 10:44 WIB

Setiap diri manusia terlahir dengan membawa naluri untuk berkuasa atau menguasai lingkungannya. Kehendak untuk berkuasa (the will to power) ini mudah diamati sejak masa kanak-kanak. Coba saja amati ketika anak-anak mulai berinteraksi dengan sesama anak, biasanya mereka akan berebut mainan atau makanan. Lalu anak juga ingin selalu bertanya apa saja yang dia jumpai di sekitarnya karena dengan mengetahui juga tersimpan kehendak untuk memiliki, yaitu pengetahuan. Dari pengetahuan inilah nantinya berkembang kehendak untuk menguasai benda-benda. Bukankah kita tertarik memiliki barang-barang yang diiklankan melalui media massa? Bukankah para penjajah muncul kehendak untuk menguasai wilayah lain bermula dari pengetahuan tentang peta bumi dan kekayaan alamnya?

Ketika seseorang semakin dewasa maka semakin berkembang obyek-obyek yang hendak dikuasai dengan berbagai langkah dan cara. Sejak bagaimana memenangkan kejuaraan dalam ujian, olah raga, sampai berebut pekerjaan dan selanjutnta lagi berebut berbagai jabatan. Semua ini didorong oleh naluri untuk berkuasa, mendapatkan posisi lebih tinggi dari yang lain. Dalam pergaulan sehari-hari pun bisa kita amati kecenderungan seseorang untuk menguasai pembicaraan atau menarik perhatian. Secara ekstrim, setiap orang menginginkan apa yang disebut “self-glory” dengan cara dan tingkatan yang berbeda-beda.

Dengan adanya naluri untuk berkuasa ini kehidupan lalu menjadi dinamis. Orang berlomba untuk menjadi juara dan ingin lebih dari yang lain entah dalam bidang keilmuan, kekayaan, jabatan dan ketampanan serta aspek lain. Yang paling menonjol tentu saja dalam bidang olah raga, terlebih lagi jika yang bertanding mewakili harga diri bangsa dan negara sebagai taruhannya. Orang merasa senang kalau dapat melebihi dan kemudian menguasai yang lain. Bagi seorang pejabat, ada yang merasa puas kalau anak buahnya merasa takut dan mencium tangannya sebagai pengakuan kekalahan dalam hal kepangkatan yang kemudian diwujudkan dalam bentuk pengabdian atau penghambaan (servitude).

Dalam dunia bisnis dan politik the will to power berlangsung semakin telanjang dengan volume dan intensitas yang tak terkontrol lagi. Misalnya saja, karena di bawah bumi Irak terdapat kandungan minyak melimpah, maka wilayah itu menjadi obyek perebutan untuk dikuasai dengan berbagai cara yang sadis dan telanjang. Tidak hanya bumi Timur Tengah, tanah Papua yang berada jauh dan tertutup hutan pun kekayaan alamnya diincar dan digali lalu diangkut keluar meski warga setempat hidupnya tetap sengsara. Secara psikologis, menguasai itu mendatangkan sensasi kenikmatan tersendiri.

Akhir-akhir ini dalam panggung politik nasional maupun lokal pertarungan untuk berkuasa berlangsung kasat mata. Untuk memperebutkan sebuah jabatan birokrasi atau politik seseorang rela mengeluarkan beaya yang jumlahnya jauh melebihi gaji resmi yang dijanjikan kalau saja memenangkan kompetisi. Nalar sehat dan rumus matematika sulit menjelaskan ini kecuali dengan sudut pandang lain, salah satunya adalah naluri the will to power dan obsesi untuk memperoleh self-glory.

Ketika seseorang telah merasa kaya dan bergelimang harta, itu semua dirasa belum cukup kalau tidak memiliki jabatan dan kekuasaan yang memungkinkan dirinya bisa memerintah dan menundukkan orang lain. Dia akan merasa puas ketika memasuki suatu forum lalu disanjung-sanjung, orang berdiri, berebut menjabat tangannya dan bahkan menciumnya. Ketika berpidato merasa puas disambut tepuk tangan. Ketika mencoba melucu hadirin lalu tertawa meski tidak spontan dan tidak tulus ketawanya.

Sedemikian jelekkah kekuasaan itu? Tentu saja tidak. Tanpa adanya legalitas dan otoritas, sebuah pemerintahan tidak akan berjalan. Kehidupan sosial akan kacau. Dalam perusahaan pun diperlukan figur yang memiliki power yang legal dan efektif untuk menjalankan roda perusahaan. Hanya saja ketika kekuasaan dan jabatan semata hanya untuk memenuhi ego dan ambisi pribadi guna mendapatkan self-glory, maka kekuasaan yang demikian akan merusak tatanan bernegara, tatan perusahaan dan tatanan masyarakat. Bahkan akan merusak dirinya sendiri.

Hari-hari ini saya sering bertanya, dan sekedar bertanya karena jawabnya juga tak akan muncul. Mengapa banyak orang begitu berambisi untuk berkuasa? Dan untuk meraihnya pun tidak jarang mesti dengan cara menjelekkan dan menjatuhkan pesaingnya secara tidak fair. Di pihak lain, mereka yang sudah berkuasa sering sangat sensitif terhadap kritik dan enggan untuk melepas kekuasaannya. Padahal berbagai struktur dan jabatan itu pada mulanya didisain sebagai wahana pengabdian untuk melayani masyarakat dan secara reguler mesti bergantian. Jangan memonopoli “pahala” dalam berbakti melayani masyarakat, memajukan bangsa.

Yang ironis tentu saja jika jabatan itu dipandang sebagai “ghanimah” atau harta hasil rampasan perang yang kemudian diperebutkan ramai-ramai. Naluri rendahan inilah yang mesti dikikis karena menjadi virus ganas yang menghancurkan kehidupan bernegara, mengkhianati perjuangan dan cita-cita para pendiri bangsa. Kekuasaan itu baik dan sangat diperlukan selama dikawal dan disemangati etika dan komitmen untuk mensejahterakan rakyat.

Tidak ada komentar: