Minggu, 06 Februari 2011

ANALISIS DATA PENDIDIKAN SEBAGAI UPAYA PENYEDIAAN INFORMASI DAN BAHAN KEBIJAKAN

RINGKASAN LAPORAN KKN-PPL INDIVIDU 
PRODI ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN UNY
Oleh. Zaenal Irawan (NIM.07110241025)

Bentuk pengamalan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang dikemas dalam rangkaian kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan Program Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) bertujuan sebagai sarana pembelajaran bagi mahasiswa dalam mengaplikasikan pengetahuaannya dikehidupan bermasyarakat, upaya dalam mengembangkan kompetensi mahasiswa sesuai kompetensi program studinya. Bagi mahasiswa Kebijakan Pendidikan, kegiatan KKN-PPL difokuskan untuk pegembangan kompetensi mahasiswa sebagai peneliti, perancang, fasilitator dan networker kebijakan pendidikan.
Relevansi antara tugas dan fungsi Sub Bagian Administrasi Data dan Pelaporan (ADP) dengan kompetensi yang hendak dikembangkan menjadi pertimbangan utama dipilih Sub Bagian ADP sebagai tempat pelaksanaan program KKN-PPL 2010. Dengan dirumuskan program PPL individu berupa Analisis Data Pendidikan sebagai Upaya Penyediaan Informasi dan Bahan Kebijakan dengan didukung program KKN individu berupa Pengelolaan Data Pokok Pendidikan Nasional (Dapodik) menjadi langkah awal dalam pelaksanaan KKN-PPL di Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta.
          Dalam kurun waktu + 2,5 bulan (Juli hingga September), program-program yang telah dirumuskan tersebut berjalan lancar, terlaksana dengan baik dan tuntas sesuai rencana awal. Melalui beberapa penjabarannya kegiatan KKN seperti: kegiatan Pengelolaan Data Pokok Pendidikan Nasional,  Pelaksanaan PPDB dan Sosialisasi pengelolaan data pendidikan dan NISN, program Realisasi perpustakaan Disdik Kota Yogyakarta, AMT untuk meningkatkan budaya kerja, Pelatihan wawasan lingkungan, hingga pembuatan booklet Disdik Kota Yogyakarta. Proses pengembangan kompetensi melalui program PPL ditutunkan dalam beberapa kegiatan di antaranya; Analisis hasil Ujian Nasional 2010 yang bertujuan memberikan informasi tambahan bagi pihak-pihak yang membutuhkan, Analisis kuesioner evaluasi pelatihan BINTEK RAPBS 2010 yang diselenggarakan oleh Sub Bagian ADP dan melakukan Rekapitulasi usulan siswa sekolah swasta data penerima BOSDA 2010.
Pengembangan kompetensi sebagai peneliti terlihat pada pokok kegiatan berupa aktifitas analisis data dengan metode yang sistematis dan ilmiah. Pengembangan kompetensi sebagai perancang melalui tindaklanjut hasil evaluasi dalam bentuk rekomendasi atau saran dan berupa usulan desain kebijakan/kegiatan. Pengembangan kompetensi sebagai networker dilaksanakan mahasiswa melalui kerjasama penyelenggraan kegiatan ataupun komunikasi efektif baik dengan internal lembaga maupun eksternal lembaga. Pengembangan kompetensi mahasiswa sebagai fasilitator kebijakan dilakukan melalui pemenuhan kebutuhan Sub Bagian ADP tehadap informasi dan data akurat guna perumusan program atau kebijakan oleh Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta.


DOWNLOAD FILE 

Sabtu, 05 Februari 2011

THE WILL TO POWER


Komaruddin Hidayat
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Kamis, 3 Februari 2011 10:44 WIB

Setiap diri manusia terlahir dengan membawa naluri untuk berkuasa atau menguasai lingkungannya. Kehendak untuk berkuasa (the will to power) ini mudah diamati sejak masa kanak-kanak. Coba saja amati ketika anak-anak mulai berinteraksi dengan sesama anak, biasanya mereka akan berebut mainan atau makanan. Lalu anak juga ingin selalu bertanya apa saja yang dia jumpai di sekitarnya karena dengan mengetahui juga tersimpan kehendak untuk memiliki, yaitu pengetahuan. Dari pengetahuan inilah nantinya berkembang kehendak untuk menguasai benda-benda. Bukankah kita tertarik memiliki barang-barang yang diiklankan melalui media massa? Bukankah para penjajah muncul kehendak untuk menguasai wilayah lain bermula dari pengetahuan tentang peta bumi dan kekayaan alamnya?

Ketika seseorang semakin dewasa maka semakin berkembang obyek-obyek yang hendak dikuasai dengan berbagai langkah dan cara. Sejak bagaimana memenangkan kejuaraan dalam ujian, olah raga, sampai berebut pekerjaan dan selanjutnta lagi berebut berbagai jabatan. Semua ini didorong oleh naluri untuk berkuasa, mendapatkan posisi lebih tinggi dari yang lain. Dalam pergaulan sehari-hari pun bisa kita amati kecenderungan seseorang untuk menguasai pembicaraan atau menarik perhatian. Secara ekstrim, setiap orang menginginkan apa yang disebut “self-glory” dengan cara dan tingkatan yang berbeda-beda.

Dengan adanya naluri untuk berkuasa ini kehidupan lalu menjadi dinamis. Orang berlomba untuk menjadi juara dan ingin lebih dari yang lain entah dalam bidang keilmuan, kekayaan, jabatan dan ketampanan serta aspek lain. Yang paling menonjol tentu saja dalam bidang olah raga, terlebih lagi jika yang bertanding mewakili harga diri bangsa dan negara sebagai taruhannya. Orang merasa senang kalau dapat melebihi dan kemudian menguasai yang lain. Bagi seorang pejabat, ada yang merasa puas kalau anak buahnya merasa takut dan mencium tangannya sebagai pengakuan kekalahan dalam hal kepangkatan yang kemudian diwujudkan dalam bentuk pengabdian atau penghambaan (servitude).

Dalam dunia bisnis dan politik the will to power berlangsung semakin telanjang dengan volume dan intensitas yang tak terkontrol lagi. Misalnya saja, karena di bawah bumi Irak terdapat kandungan minyak melimpah, maka wilayah itu menjadi obyek perebutan untuk dikuasai dengan berbagai cara yang sadis dan telanjang. Tidak hanya bumi Timur Tengah, tanah Papua yang berada jauh dan tertutup hutan pun kekayaan alamnya diincar dan digali lalu diangkut keluar meski warga setempat hidupnya tetap sengsara. Secara psikologis, menguasai itu mendatangkan sensasi kenikmatan tersendiri.

Akhir-akhir ini dalam panggung politik nasional maupun lokal pertarungan untuk berkuasa berlangsung kasat mata. Untuk memperebutkan sebuah jabatan birokrasi atau politik seseorang rela mengeluarkan beaya yang jumlahnya jauh melebihi gaji resmi yang dijanjikan kalau saja memenangkan kompetisi. Nalar sehat dan rumus matematika sulit menjelaskan ini kecuali dengan sudut pandang lain, salah satunya adalah naluri the will to power dan obsesi untuk memperoleh self-glory.

Ketika seseorang telah merasa kaya dan bergelimang harta, itu semua dirasa belum cukup kalau tidak memiliki jabatan dan kekuasaan yang memungkinkan dirinya bisa memerintah dan menundukkan orang lain. Dia akan merasa puas ketika memasuki suatu forum lalu disanjung-sanjung, orang berdiri, berebut menjabat tangannya dan bahkan menciumnya. Ketika berpidato merasa puas disambut tepuk tangan. Ketika mencoba melucu hadirin lalu tertawa meski tidak spontan dan tidak tulus ketawanya.

Sedemikian jelekkah kekuasaan itu? Tentu saja tidak. Tanpa adanya legalitas dan otoritas, sebuah pemerintahan tidak akan berjalan. Kehidupan sosial akan kacau. Dalam perusahaan pun diperlukan figur yang memiliki power yang legal dan efektif untuk menjalankan roda perusahaan. Hanya saja ketika kekuasaan dan jabatan semata hanya untuk memenuhi ego dan ambisi pribadi guna mendapatkan self-glory, maka kekuasaan yang demikian akan merusak tatanan bernegara, tatan perusahaan dan tatanan masyarakat. Bahkan akan merusak dirinya sendiri.

Hari-hari ini saya sering bertanya, dan sekedar bertanya karena jawabnya juga tak akan muncul. Mengapa banyak orang begitu berambisi untuk berkuasa? Dan untuk meraihnya pun tidak jarang mesti dengan cara menjelekkan dan menjatuhkan pesaingnya secara tidak fair. Di pihak lain, mereka yang sudah berkuasa sering sangat sensitif terhadap kritik dan enggan untuk melepas kekuasaannya. Padahal berbagai struktur dan jabatan itu pada mulanya didisain sebagai wahana pengabdian untuk melayani masyarakat dan secara reguler mesti bergantian. Jangan memonopoli “pahala” dalam berbakti melayani masyarakat, memajukan bangsa.

Yang ironis tentu saja jika jabatan itu dipandang sebagai “ghanimah” atau harta hasil rampasan perang yang kemudian diperebutkan ramai-ramai. Naluri rendahan inilah yang mesti dikikis karena menjadi virus ganas yang menghancurkan kehidupan bernegara, mengkhianati perjuangan dan cita-cita para pendiri bangsa. Kekuasaan itu baik dan sangat diperlukan selama dikawal dan disemangati etika dan komitmen untuk mensejahterakan rakyat.

SEKOLAH WAJIB BUAT RAPBS SEBELUM DAPAT BOS


BANDAR LAMPUNG, TRIBUN - SD dan SMP negeri wajib membuat rancangan anggaran pendapatan belanja sekolah (RAPBS) sebelum mendapatkan dana BOS (bantuan operasional sekolah).

Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kota Bandar Lampung Bustami menjelaskan, dalam pembuatan RAPBS, pihak sekolah harus mengelompokkan antara belanja pegawai, belanja barang jasa, dan belanja barang modal. 

"Ketiga kelompok belanja tersebut masuk dalam jenis belanja langsung. Dan ini sesuai dengan aturan pencairan dana BOS yang telah ditransfer dari APBN ke APBD Kota Bandar Lampung," terang Bustami kepada Tribun Lampung, Jumat (4/2). 

Dia menambahkan, sekolah yang telah membuat RAPBS kemudian diajukan ke dinas pendidikan setempat melalui manajer BOS.

"Masing-masing sekolah yang mendapat dana BOS harus membuat RAPBS dalam kurun waktu tiga bulan, dan diserahkan ke saya selaku manajernya. Sehingga waktu pencairannya tergantung dari pembuatan dan pengajuan RKA tersebut," katanya. 

Dia menuturkan, RAPBS yang telah masuk ke dinas akan direkapitulasi dan dikelompokkan sesuai ketiga jenis belanja tersebut. Rekapitulasi akan diserahkan ke bendahara umum daerah (BUD) atau pejabat pengelola keuangan daerah (PPKD).

Kemudian BUD mentransfer dana BOS ke bendahara pengeluaran pembantu (BPP) dinas pendidikan setempat, dan dan diteruskan ke rekening sekolah negeri sesuai dengan RAPBS yang diajukan.

Bustami memaparkan, jumlah sekolah di Bandar Lampung yang mendapatkan dana BOS yakni, 201 SD negeri, 35 SD swasta, 34 SMP negeri, dan 74 SMP swasta.

Sementara, total dana BOS selama setahun sebesar Rp 62.217.350.000, dengan rincian Rp 33.915.600.000 untuk SD negeri, Rp 4.992.400.000 untuk SD swasta, Rp 12.587.325.000 untuk SMP negeri, dan Rp 10.722.025.000 untuk SMP swasta.

Setiap siswa SD dialokasikan Rp 400 ribu per tahun, sedangkan setiap siswa SMP dialokasikan Rp 575 per tahun. Namun, tidak semua dana tersebut akan dicairkan ke sekolah. Pencairan dibagi menjadi empat periode selama satu tahun, dan sesuai dengan RAPBS masing-masing.(*)


penulis: tika rochmawatie | editor: taryono